Dahulu di sebuah desa, hiduplah seorang tabib yang sangat pandai menyembuhkan orang. Namanya tabib Lie. Selain pandai mengobati, tabib Lie pun tidak pernah meminta bayaran kepada penduduk. Itulah sebabnya penduduk desa senang sekali kepadanya.
Keadaan itu membuat tabib Han menjadi iri. Sebenarnya tabib Han juga pandai menyembuhkan orang. Namun, sayang ia selalu meminta bayaran yang tinggi. Jadi penduduk desa kurang senang kepadanya.
Melihat kesuksesan tabib Lie, timbullah niat jahat di benak tabib Han. Suatu hari tabib Han menghadap Baginda Raja Mhing. Raja Mhing terkenal sebagai penguasa yang kurang bijaksana dan cepat sekali emosi. Tabib Han pun memanfaatkan hal itu untuk mencelakakan tabib Lie.
Tabib Han melaporkan kepada Baginda Raja, “Tabib Lie ternyata mempunyai sebutir pil umur panjang. Ia sengaja menyembunyikannya untuk dipakai sendiri.”
“Pil umur panjang,” kening baginda mengerut.
“Benar yang Mulia, tabib Lie berusaha menyembunyikan pil penemuannya itu,” kata tabib Han, berusaha membohongi baginda.
Mendengar ada sebutir pil yang dapat membuat seseorang menjadi berumur panjang, Baginda Raja pun tertarik. Baginda Raja segera memerintahkan tabib Lie untuk menghadapnya.
Tabib Lie terkejut saat mendengar permintaan Baginda Raja. “Ampun, Baginda Raja. Sebenarnya hamba tidak mempunyai pil umur panjang itu,” kata tabib Lie hati-hati.
Mendengar perkataan tersebut baginda pun marah, “Jangan bohong! Aku tahu kau sengaja menyembunyikan pil itu untuk kau makan sendiri. Aku tidak mau tahu. Kau harus memenuhi permintaanku. Kuberi kau waktu satu minggu. Jika kau tidak memberikan pil itu, kepalamulah taruhannya.”
Tabib Lie tidak lagi dapat berkata-kata. Ia mengetahui bahwa ini pasti ulah tabib Han, orang yang iri dan selalu mencoba menyingkirkannya. Tabib Lie kembali ke rumah. Ia sangat sedih dan tidak dapat tidur nyenyak. Istrinya yang mengetahui keadaan suaminya datang mendekatinya lalu membisikkan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba saja wajah murung tabib Lie berubah ceria. Ternyata sang istri telah memberinya sebuah ide cemerlang untuk mengatasi masalahnya.
Beberapa hari berlalu. Akhirnya waktu yang ditentukan Baginda Raja telah berakhir. Tabib Han bersorak melihat
keadaan tabib Lie. “Kali ini kau pasti dapat kusingkirkan,” pikir tabib Han.
Pagi itu tabib Lie datang menghadap Baginda Raja.
“Mana pil pesananku?” tanya Baginda tanpa basa-basi.
“Ampun yang Mulia, sebelum hamba memberikan pil umur panjang itu, izinkan hamba menyampaikan sesuatu,” ujar tabib Lie.
“Cepat katakan,” jawab Baginda Raja tidak sabar.
“Pil umur panjang itu baru akan berkhasiat jika Baginda meminumnya sesuai dengan syarat-syaratnya,” jawab tabib Lie menjelaskan.
“Syarat?” tanya Baginda tidak mengerti.
“Sebelum pil umur panjang itu Baginda minum, Baginda harus menjalani puasa selama empat puluh hari empat puluh malam,” jelas tabib Lie.
“Syarat yang aneh,” ujar Baginda Raja. “Tetapi baiklah aku akan melakukannya,” lanjutnya. Akhirnya mulai hari itu Baginda pun menjalani puasanya. Hari pertama puasa, Baginda dapat menjalaninya dengan baik tetapi memasuki hari ketiga Baginda merasa resah. Ia tidak dapat tidur dan bekerja dengan konsentrasi karena rasa lapar yang dideritanya. “Apa enaknya mendapatkan pil umur panjang itu kalau aku harus berpuasa sampai empat puluh hari. Mungkin sebelum aku mendapatkan pil itu aku sudah mati kelaparan,” pikir Baginda.
Tiba-tiba Baginda sadar kalau permintaanya itu aneh. “Mana ada manusia yang abadi? Setiap manusia pasti akhirnya akan meninggal juga,” kata Baginda. “Alangkah bodohnya aku karena menerima laporan yang tidak masuk akal begitu saja dari tabib Han,” sesal Baginda.
Akhirnya Baginda sadar bahwa tabib Han sudah membohonginya. Segera saja ia menyuruh pengawalnya menangkap tabib Han dan menjebloskannya ke dalam penjara.
* * *
Aeschylus berkata, “Hanya sedikit orang yang memiliki kekuatan untuk menghormati keberhasilan seorang teman tanpa rasa iri hati”. Rasa iri memang hanya akan merusak hati dan kehidupan seseorang. Selain menjauhkan kita dari sukacita dan damai sejahtera, iri hati hanya akan menyengsarakan hidup. Sesungguhnya, orang bodoh dibunuh oleh sakit hati dan orang bebal dimatikan oleh iri hati.
Bila menyadari bahwa tidak ada satu pun keuntungan dengan menyimpan salah satu penyakit hati itu, mengapa kita tidak berusaha menyingkirkannya? Belajarlah untuk dapat menerima kesuksesan orang lain dengan lapang dada karena terkadang kita harus mengakui bahwa “di atas langit masih ada langit”. Atau ketika kita melihat keberhasilan seseorang, jadikanlah hal itu sebagai lecutan untuk memotivasi diri agar mampu bekerja lebih maksimal lagi. Bila perlu bergaullah dengan mereka dan jalin sebuah hubungan yang baik agar kita pun bisa belajar sesuatu untuk meraih sukses. Jika mereka mampu, kita juga pasti mampu.
Jika kita sibuk mempersiapkan diri menjadi pribadi yang semakin baik dari hari ke hari, saya rasa kita tidak akan punya cukup waktu untuk merasa iri dengan orang lain. Bagaimana menurut Anda?
Sumber